Wednesday, June 15, 2011

Konsep Keberhasilan Entrepreneur Sejati

”Kawan-kawan ......., tidak usah muluk-muluk bicara tentang pelatihan entrepreneurship-lah. Lha wong di depan mata kita saja terlihat contoh hasilnya. Sudah kesana kemari mengikuti pelatihan kewirausahaan dan berbagai pelatihan motivasi, toh hasilnya hanya seperti si Dodi (nama samaran) ini lho. Mana bukti hasilnya? Mana kekayaannya? Dibanding kekayaan saya, yang tak pernah menghadiri pelatihan entre-prenerial, ternyata juga tidak ada apa-apanya!”

Begitulah kira-kira komentar teman diskusi saya pada suatu kesempatan. Entrepreneur sering kali diidentikkan dengan kekayaan materi semata. Bagi orang awam tolok ukur keber-hasilan seorang pengusaha adalah sejauh mana ia bisa menum-puk materi yang langsung bisa dilihat. Beberapa refe-rensi yang telah saya baca mendefinisikan entrepreneur sebagai insan yang berinisiatif untuk memberi nilai pada kehidupan dan dengan nilai tersebut terujudlah bagi-nya sebuah transaksi yang timbul secara alamiah di mana konsequensi logisnya secara sunnatullah adalah bahwa kehi-dupan ini memberi reward bagi kontributor tersebut.

Seorang kawan ronda saya yang memiliki sifat melan-kolis mengekspresikan keprihatinannya akan ironi-ironi kehi-dupandi sekitar kita. Sering kita jumpai sebagian orang yang tidak cerdas-cerdas amat, pemalas dan juga tidak begitu khusuk dalam beragama, hidupnya jauh ebih sejahtera dibanding seba-gian yang lain yang bekerja keras dan dalam kesehariannya pun bisa dirasakan bahwa mereka orang-orang yang cukup cerdas. Terdorong untuk memahamkan si melankolis itu, seorang kawan ronda saya yang lain yang cukup matang menimpali:

”Eh, Mas. Orang bodoh, pemalas, pelit, egois, dan segala pencitraan negatif yang lain dimilikinya, kok hidupnya sejahtera, dipandang dari kacamata sosial ada dua kemungkinan mas,” katanya, ”jika tidak karena ia adalah orang yang dhalim, pasti karena ia terlibat dalam sebuah sistem yang dhalim,” tambahnya. ”Jadi, secara langsung maupun tidak langsung ia menjadi bagian dari kedhaliman yang bisa jadi menjadikan kehidupannya tidak halal. Apa anda mau yang seperti itu?”

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At Taubah: 105)

Seseorang dikatakan sebagai entrepreneur sejati apabila ia tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan dalam berkarya, tidak luntur oleh iming-iming kenikmatan sesaat ke-mudian mengorbankan nilai-nilai keadilan yang telah menjadi prinsip atau kebenaran yang ia yaqini. Bagi entrepreneur sejati menggantungkan cita-citanya sekadar keberhasilan duniawi adalah merupakan kepicikan dan kesia-siaan. Entrepreneur sejati adalah visionaris yang berhati mulia yang dengan kecer-dasan spiritualnya senantiasa mengerahkan seluruh energinya untuk membangun kemaslahatan manusia.

Dengan demikian seseorang menyandang gelar entre-preneur sejati apabila telah memiliki kepahaman agama (Islam). Entrepreneur sejati tidak mungkin mengabaikan fitrah-nya sebagai hamba Allah swt yang tidak diciptakannya melain-kan agar mengabdi kepadaNya, mentaati perintahNya, menjauhi laranganNya, beriman dan beramal shalih, beramar makruf nahi mungkar, ridha terhadap segala ajaran yang dibawakan dan di-contohkan Rasulullah saw.

Satu-satunya sumber nilai bagi orang Islam adalah al Qur’an dan as Sunnah yang dipahami sebagaimana para sahabat r.a. memahaminya. Memang kita akui dan rasakan bahwa ma-syarakat sekarang sudah tidak mudah merunut bahwa sumber dari segala sumber nilai itu adalah al Qur’an dan as Sunnah. Pendidikan formal yang di abad ini yang begitu diagungkan betul-betul telah merusak kepahaman masyarakat sekarang ini akan adanya sumber nilai yang haq yang datangnya dari Allah swt tersebut.

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al Maaidah: 3)

Entrepreneur sejati tidak mau menabrak atau menselisihi nilai-nilai yang datangnya dari Allah swt dan rasulNya. Entre-preneur sejati memiliki langkah langkah bisnis yang ramah ling-kungan, taat hukum, dan memiliki kecerdasan sosial tinggi. Entrepreneur sejati bukanlah orang yang merobohkan tiang untuk mendirikan tembok, tidak mau mengorbankan nilai A untuk meraih nilai B. Entrepreneur sejati lebih banyak berkarya dengan cara menciptakan nilai tambah dari sumber daya tak bernilai. Pada akhirnya entrepreneur sejati bukan tergolong orang-orang yang mengorbankan nilai-nilai akhirati demi men-dapatkan nilai-nilai duniawi.

Saya mempunyai kawan yang begitu banyak berubah setelah menginjakkan kakinya di bumi Jakarta. Ia yang dulu sering mengingatkan saya semasa kuliah akan pentingnya shalat tepat pada waktunya, kini sudah sangat tercemari pola pikir metropolitan yang tidak jelas karakter budayanya. Di kota yang berpenduduk mayoritas muslim itu ia menerapkan bisnis dengan segala cara. Ia tak merasa bersalah meskipun kaidah-kaidah agama (Islam) tak lagi menjadi pedoman dalam menjalankan bisnisnya. Kini ia lebih banyak bersandar pada akalnya.

Selama tidak mengkonsumsinya, ia tak merasa bersalah untuk berjualan daging babi. Tidak sedikit kawannya yang berbisnis minuman keras, narkoba, dan lain sebagainya yang dilarang agama. Nampak sekali bahwa mencari nafkah dengan cara-cara yang tidaqk disyariatkan lebih mudah dan lebih cepat kaya. Jika tidak hati-hati bisa jadi kita pun berada dalam sistem organisasi bisnis yang tidak sehat lho!

”Bisakah seseorang kaya dengan menjalankan bisnis secara syar’i?” Salah seorang teman diskusi tiba-tiba melontar-kan sebuah pertanyaan yang meskipun lugu namun harus diakui masih merupakan representasi kegelisahan sebagian masyarakat. Tidak sedikit warga masyarakat Islam yang menganggap bahwa berkarya dengan cara baik-baik hasilnya tidak bakal sesukses mereka yang nakal balam berbisnisnya.

Jawabannya tentu saja bisa. Karena agama bukanlah penghambat keberhasilan seseorang dalam mencapai cita-cita. Lihat saja. Sama-sama diberi waktu sehari, seorang petani yang tinggal di sebuah desa habis waktunya untuk membuat sebuah cangkul yang nilai jualnya lima puluh ribu rupiah, sementara seorang Bill Gate (saya ekstrimkan saja) dalam sehari mencip-takan sebuah software yang bernilai jual nutaan rupiah.

Pertanyaan yang tidak kalah menarik sehubungan de-ngan kewirausahaan adalah: ”Bisa dan bolehkah seorang entre-preneur sejati kaya raya secara materi duniawi?” Jawaban-nya adalah bisa sekali dan sangat disyariatkan. Perhatikan sabda Rasulullah saw di bawah ini:

Ketika telah berada di jaman akhir, maka tidak bisa tidak (harus) bagi manusia memiliki dirham-dirham dan dinar-dinar, seseorang menegakkan agama dan dunianya dengan dirham dan dinar. (HR. At Thabrani dari Al Maqodam)

Bukan sebaik-baik kalian orang yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan bukan sebaik-baik kalian orang yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya, sehingga sese-rang mendapatkan kedua-duanya, karena sesungguhnya dunia itu bekal untuk menuju (kebahagiaan) akhirat, dan janganlah kalian menggantungkan diri pada orang lain. (HR. Ibnu Asakir)

Orang Islam tidak alergi terhadap kekayaan. Tidak ada yang salah dengan status kaya selama bendanya dan diperoleh dengan cara yang halal, kemudian selanjutnya dibelanjakan dengan cara-cara sebagaimana diajarkan Rasulullah saw yaitu untuk berjuang di jalan Allah menegakkan agama Allah swt.

No comments:

Post a Comment